Live Pukul 08.00 - 24.00 WIB.

Catatan #18: Romantisme Mesjid Bahrul Ulum dalam Kenangan Alumni SMA Negeri 1 Angkatan 1998




Sejak masa penataran P4 dulu, saya dan teman-teman alumni SMA Negeri 1 Angkatan 1998 telah mengenal makna di balik nama Bahrul Ulum, sebuah frasa dalam Bahasa Arab yang berarti "lautan ilmu pengetahuan." Istilah ini diperkenalkan langsung oleh Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) kami, Bapak Harun Al-Rasyid (alm), yang selalu menekankan pentingnya menuntut ilmu.

Meskipun begitu, sebagai seseorang yang pernah mempelajari Bahasa Arab, Nahwu, dan ilmu alat lainnya, saya sebenarnya sudah memahami arti harfiah frasa tersebut jauh sebelum penjelasan dari Pak Harun.

Mesjid Bahrul Ulum, yang terletak persis berdekatan dengan lapangan upacara SMA Negeri 1 saat itu, memiliki dua dimensi fungsi yang sangat penting: pertama, sebagai tempat ibadah bagi warga sekolah serta masyarakat sekitar, dan kedua, sebagai pusat kajian keagamaan bagi para siswa setelah pulang sekolah.

Fungsi ini sangat selaras dengan makna namanya, sebagaimana pernah diungkapkan oleh almarhum Pak Harun, bahwa mesjid pada hakikatnya adalah pusat peradaban dan keilmuan Islam sejak awal sejarahnya.

Namun, perlu digarisbawahi bahwa kejayaan peradaban Islam di abad pertengahan tidak hanya bertumpu pada mesjid semata. Kemajuan itu juga didukung oleh tradisi diskusi yang hidup, diskursus intelektual, serta dukungan penguasa terhadap karya-karya ilmiah.

Di samping mesjid, berdiri perpustakaan-perpustakaan megah yang menyimpan koleksi buku dari berbagai disiplin ilmu, menjadi bukti betapa ilmu pengetahuan dihargai pada masa itu.

Walakin, dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas perkembangan peradaban Islam hingga mencapai puncaknya, apalagi menelusuri faktor-faktor yang menyebabkan kemundurannya. Kisah ini hanya ingin mengajak pembaca menyelami romantisme masa lalu, kenangan tentang Mesjid Bahrul Ulum yang begitu lekat di hati para alumni.

Bagi sebagian dari kami, mesjid ini merupakan saksi bisu tawa, canda, dan perdebatan serius di antara kami saat masih berseragam putih abu-abu. Di sini, kami tidak hanya mendengarkan ceramah agama, tetapi juga menjadi tempat menghilangkan panat dengan sekadar duduk-duduk di serambi mesjid setelah  seharian belajar. Suara azan yang berkumandang menjadi pengingat bahwa di balik kesibukan akademis, ada ketenangan spiritual.

Dapat saya katakan, mungkin pada masa itu, pandangan tentang fungsi Mesjid Bahrul Ulum sebagai tempat salat dan berdiskusi tidak sepenuhnya salah, terutama bagi teman-teman alumni yang tergolong dalam kategori siswa saleh. Namun, jangan salah sangka dulu. Sekolah adalah miniatur masyarakat yang terdiri dari beragam karakter manusia, dan tentu saja, ada juga tipe siswa yang sama sekali berbeda.

Bagi sebagian siswa, mesjid tidak hanya dimaknai sebagai tempat ibadah atau ruang diskusi keagamaan, melainkan juga berfungsi sebagai "tempat persembunyian darurat" saat mereka kesiangan. Strategi ini cukup populer di kalangan murid yang terlambat datang ke sekolah.

Alih-alih berlari dikejar guru BK, mereka akan segera memasuki mesjid, mengambil air wudhu dengan cepat, lalu pura-pura khusyuk melaksanakan salat Dhuha. Sebuah fenomena unik yang, sepengetahuan saya, belum pernah dibahas dalam kajian fikih kontemporer, apakah sah hukumnya salat sunat jika niat utamanya sekadar menghindari hukuman?

Yang menarik, strategi ini ternyata cukup efektif. Berdasarkan pengamatan saya, siswa yang berpura-pura salat di mesjid cenderung lebih aman dari ancaman hukuman ketimbang mereka yang memilih terus berlari masuk ke warung atau menyelinap ke gang-gang dekat sekolahan. Paling tidak, guru BK seperti almarhum Pak Said hanya akan melotot dengan ekspresi penuh kecurigaan, tapi jarang sekali berani mengganggu siswa yang sedang "beribadah."

Situasi ini menciptakan kisah yang lucu sekaligus ironis. Di satu sisi, mesjid tetap menjadi tempat sakral yang dihormati, bahkan oleh guru yang paling galak sekalipun. Di sisi lain, ada sekelompok siswa yang memanfaatkan kesakralan itu sebagai tameng untuk menghindari konsekuensi dari tindakan mereka sendiri.

Namun, di balik kekonyolan ini, ada pelajaran menarik yang bisa dipetik. Mesjid Bahrul Ulum, dengan segala fungsinya, ternyata tidak hanya menjadi ruang bagi aktivitas spiritual murni, tetapi juga menjadi bagian dari strategi bertahan siswa di lingkungan sekolah. Ia adalah bukti bahwa tempat ibadah bisa memiliki makna yang sangat fleksibel tergantung pada siapa yang memanfaatkannya.

Dan meskipun cara seperti itu tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, setidaknya hal itu menunjukkan betapa mesjid tetap menjadi tempat yang begitu dekat dengan keseharian siswa, baik sebagai rumah ibadah, ruang belajar, atau sekadar tempat perlindungan sementara dari amukan guru BK.

Di masa kini, kisah tentang memanfaatkan mesjid sebagai tempat persembunyian mungkin akan dianggap kurang pantas atau bahkan dinilai sebagai bentuk pelecehan terhadap kesakralan tempat ibadah. Namun, untuk benar-benar memahami fenomena ini, kita perlu menengok kembali ke masa itu dengan empati, membayangkan diri kita sebagai siswa yang kebetulan kesiangan, jantung berdebar kencang saat melihat sosok guru BK dari kejauhan, dan insting bertahan hidup yang tiba-tiba muncul.

Dalam situasi panik seperti itu, mesjid seolah menjadi oasis penyelamat: tempat di mana kita bisa berpura-pura salat Dluha sambil mencuri pandang ke arah pintu, berharap guru BK tidak berani mengusik "kesucian" penampilan kita.

Kini, setelah sekian tahun berlalu, teman-teman angkatan 1998 telah berusia kepala empat, saya yakin setiap kali kenangan itu muncul, yang terlintas bukan lagi tawa kemenangan karena berhasil lolos dari hukuman, melainkan senyum manis bercampur rasa haru.

Di balik kenakalan masa itu, tersimpan pelajaran tentang bagaimana sebuah tempat suci ternyata mampu menjadi begitu manusiawi, menerima kita dalam segala ketidaksempurnaan, bahkan saat niat kita pun belum tentu tulus. Ada keindahan dalam cara mesjid itu, tanpa syarat, memberi perlindungan fisik sekaligus ruang untuk tumbuh secara moral.

Mungkin di situlah letak refleksi terbesarnya, bahwa mesjid Bahrul Ulum telah mengajarkan kami tentang ibadah dan belas kasih. Guru-guru seperti Pak Said yang hanya melotot penuh curiga tapi tak pernah benar-benar menghukum kami di dalam mesjid, seolah memahami bahwa terkadang, anak-anak perlu belajar dari kesalahan dengan caranya sendiri. Dan sekarang, saat kami sudah menjadi orang tua, barulah kami menyadari betapa nakalnya dulu, tapi betapa berharganya semua kenangan itu.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Catatan #18: Romantisme Mesjid Bahrul Ulum dalam Kenangan Alumni SMA Negeri 1 Angkatan 1998"