
Judul catatan ini terkesan provokatif, seolah membanggakan diri sebagai siswa yang tidak terlibat dalam organisasi atau kegiatan ekstrakurikuler. Namun, sebenarnya tidak sepenuhnya demikian. Setiap siswa baru di SMANSA diwajibkan mengikuti minimal satu ekstrakurikuler wajib, seperti Pramuka atau PMR, yang dilaksanakan setiap akhir pekan. Kewajiban ini menjadi bagian dari pembentukan karakter dan keterampilan sosial siswa di luar jam belajar formal.
Awalnya, ratusan siswa mengikuti ekstrakurikuler wajib ini dengan antusias. Namun, seiring waktu, hanya puluhan siswa yang benar-benar bertahan dan aktif, baik di Pramuka maupun PMR. Siswa lainnya perlahan memilih untuk beralih ke ekskul pilihan atau bahkan menjadi "non-partisan"—tidak terikat dengan kegiatan apa pun setelah memenuhi kewajiban kurikuler. Mereka ini adalah mayoritas yang hanya fokus belajar dari pagi hingga siang, dengan motivasi yang beragam: ada yang sungguh-sungguh, ada pula yang sekadar memenuhi tuntutan atau sebut saja 'sungguh terpaksa'.
Saya termasuk dalam golongan siswa "non-partisan" ini. Di kelas satu, saya sempat mengikuti ekskul wajib Pramuka dengan ekskul pilihan HP3 (bukan Himpunan Pelajar Pecinta Pertanian, ya!) dan RMBU. Namun, saat naik ke kelas dua dan tiga, saya memutuskan untuk benar-benar lepas dari semua kegiatan ekstrakurikuler. Alasan utamanya sederhana: saya ingin lebih independen, tidak terikat oleh jadwal atau komitmen tambahan setelah jam sekolah usai.
Menjadi siswa non-partisan memberi kebebasan untuk mengatur waktu sendiri. Saya bisa langsung pulang ke rumah setelah bel tanda pulang berbunyi, tanpa harus menunggu latihan atau rapat ekskul. Bagi saya, sekolah sudah cukup melelahkan, dan waktu di rumah lebih berharga untuk istirahat atau mengerjakan hal-hal lain yang saya minati. Tentu, pilihan ini tidak berarti saya anti-sosial atau tidak peduli pada kegiatan sekolah; saya hanya memprioritaskan kenyamanan pribadi.
Pandangan ini tidak bisa disamakan dengan golput dalam politik. Saya tidak menolak ekskul secara prinsip, hanya memilih untuk tidak berkomitmen. Saya masih bisa bergaul dengan siapa pun, dari kelompok mana pun, asalkan nyaman. Fleksibilitas ini membuat saya merasa lebih leluasa, tanpa tekanan untuk memenuhi ekspektasi dari suatu kelompok atau organisasi tertentu.
Namun, situasi ini menimbulkan pertanyaan, apakah pilihan untuk tidak aktif di ekskul adalah bentuk kemalasan atau justru kematangan dalam mengatur prioritas? Di negara-negara maju seperti Finlandia, siswa memang tidak dijejali dengan jam sekolah yang panjang. Pendidikan di sana menekankan keseimbangan antara belajar, istirahat, dan waktu bersama keluarga. Apakah pilihan saya mencerminkan pemikiran yang maju?
Tentu saja tidak bisa disimpulkan begitu. Jika dianggap sebagai bentuk kemajuan berpikir, maka secara tidak langsung siswa yang aktif di ekskul akan dianggap "terbelakang", dan itu jelas tidak adil. Aktivitas ekskul memiliki nilai positifnya sendiri, seperti melatih kerja sama, kepemimpinan, dan keterampilan sosial. Pilihan saya hanyalah preferensi pribadi, bukan penilaian terhadap orang lain.
Saya pertegas kembali, menjadi siswa non-partisan adalah bagian dari proses pencarian jati diri. Ada yang menemukan passion-nya di ekskul, ada pula yang merasa lebih berkembang dengan cara sendiri. Yang terpenting adalah bagaimana kita memaknai waktu dan kesempatan yang ada, baik di dalam maupun luar sekolah. Bagi saya, kemandirian dalam memilih jalan adalah pelajaran terbesar dari fase "non-partisan" ini.
Menjadi siswa non-partisan dan menuliskannya bukan untuk menghasut siswa masa kini agar tidak mengikuti kegiatan sekolah. Saya hanya ingin mengingatkan pentingnya mengatur waktu antara sekolah, bermain, dan keluarga.
Sayangnya, kesadaran ini belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat, termasuk siswa dan pihak sekolah. Kebiasaan membiarkan siswa berlama-lama di sekolah karena orangtua sibuk justru membuat visi pendidikan melenceng dari tujuannya.
Contoh nyatanya, banyak pelajar SMP dan SMA menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan hangout atau nongkrong di kedai kopi karena orangtua pulang larut. Tanpa pengawasan, mereka tumbuh dewasa sebelum waktunya—tak heran banyak siswa merasa telah sangat dewasa padahal masih kanak-kanak dan siswi yang berdandan berlebihan di sekolah. Fenomena ini menunjukkan betapa waktu luang yang tidak terarah bisa membentuk kebiasaan kurang baik.
Pendidikan seharusnya mampu memperkenalkan keseimbangan hidup. Jika sekolah dan keluarga tidak bersinergi, siswa akan mencari pelarian di luar, seringkali ke hal-hal yang kurang produktif. Karena itu, penting bagi orangtua dan sekolah untuk menciptakan lingkungan yang mendukung, tanpa membebani siswa dengan aktivitas berlebihan atau membiarkan mereka tanpa arahan.
Posting Komentar untuk "Catatan #19: Saya Non-Partisan dan Tidak Aktif Ekskul Apapun di SMANSA"